Di setiap kesempatan dipamongi (di-coach) oleh sesama pembelajar, sedikit banyak memberikan pembelajaran berharga; terutama selepas sesinya, dimana ada kesempatan untuk mengevaluasi dan refleksi atas apa yang telah terjadi.
Di satu sesi, sang pamong berkata “saya merasakan hal yang sama seperti yang anda rasakan”... Sebuah pernyataan yang terkesan biasa, sehingga karena telah menjadi kebiasaan dalam berkomunikasi, kita cenderung membenarkan yang biasa tersebut.
Mungkin terdengar sepele, tetapi selepas sesi meditasi dan refleksi tadi pagi saya menyadari hal yang berbeda dari pernyataan sang pamong tadi, yaitu tentang sebuah kata yang terasa biasa, namun ternyata sebaliknya, yaitu: SAMA
Pertanyaan yang muncul dari dalam diri adalah:
– ‘apa yang dimaksud dengan SAMA?’
– ‘apakah sang pamong pernah mengalami situasi yang SAMA (waktu, lokasi, orang-orang yang terlibat, konten, dan konteksnya)?’
– ‘apa yang mendasari sang pamong berkata SAMA?’
– ‘apakah sang pamong berupaya terkoneksi lalu berkata SAMA untuk bersimpati, berempati, atau memang benar-benar tahu apa yang terjadi dan dirasakan oleh saya?’
– ‘apa yang sang pamong pikir/rasa/lihat pada saat berkata merasakan hal yang SAMA?’
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan self-coaching yang saya lakukan di sesi refleksi; yang beberapa di antaranya adalah pertanyaan tertutup, saya melihat bilamana saya adalah seorang pamong, apa yang saya maknai dari kata SAMA?
Dalam refleksi itu saya menyadari, walaupun saya bernapas berulang kali, tak pernah ada napas yang benar-benar sama; tempat menghirupnya, kualitas udaranya, komposisi kimiawi udaranya, cara menghirupnya, ruang relung paru-paru yang diisinya, kecepatannya, percepatannya, situasi sekitarnya, kondisi psikologis saya, dan yang hampir pasti berbeda adalah umur saya. Dan saya menyadari, tidak pernah ada kejadian yang sama, sama sekali.
Saya menyadari sering tak terlalu tahu, bahkan tak tahu, walau kadang (atau sering) sok tahu tentang perasaan cantrik (coachee) saya dengan mengatakan “saya merasakan hal yang sama seperti yang anda rasakan”… namun sejatinya saya tidak tahu.
Ada upaya berempati untuk terkoneksi, namun upaya itu jadi semu karena seolah diramu. Ada usaha untuk memahami, namun pemahaman itu berasa palsu, karena antara pikiran dan perasaan tak ada titik temu, dan saya sendiri tak pernah mengalami apa yang dipahami itu. Ada ketidaktahuan yang saya enggan untuk saya akui atau saya bungkus dalam kebanggaan sebagai pamong, lalu ambil jalan pintas dengan (kadang tanpa sadar) pura-pura tahu.
Teringat guru saya James Lawley dan Penny Tomkins dengan konsep Clean Space dan Clean Language in CoachingΒ yang memiliki filosofi kepamongan yang non-intrusive, “a coach existence is to be as minimum as possible, invisible if possible, non-existent but the client”
Lalu saya terhenyak, I did so much damage by saying “I feel you”, which I might did, but mostly didn’t. Betapa intrusif dan invasifnya saya memasukkan perspektif saya dalam percakapan tentang agendanya.
Kiranya Semesta mengampuni…
Reference: Philosophy of Space and Time