Religion and Spirituality

Religion, some say is like living an illusion
Of man made β€˜spiritual’ institution
With hell and heaven as the ultimate compensation

Spirituality, some say is like living a tentative reality
Of man tries to understand divinity in humanity
With unconditional acceptance as an infinite existence

Religion begins with faith
A basic distinction of wrongs and rights

Spirituality begins with doubt
A quest to quench the thirst of light

Religion practices ancient scriptures
Spirituality is about moment-to-moment adventures

Religion regulates on how to survive and to be a better person
Spirituality is a principle to thrive whatever decided by the universal intelligence

Religion tells we have choices and options
For we have the power to control intention and action

Spirituality is about non-choosing and total submission
Where everything has been settled and we only need to attend the divine orchestration

Must we choose one
Or can we be both?
What if both is none?
And none is all?

#RenunganSepertigaMalam
Sampurasun πŸ™

Sama

Di setiap kesempatan dipamongi (di-coach) oleh sesama pembelajar, sedikit banyak memberikan pembelajaran berharga; terutama selepas sesinya, dimana ada kesempatan untuk mengevaluasi dan refleksi atas apa yang telah terjadi.

Di satu sesi, sang pamong berkata “saya merasakan hal yang sama seperti yang anda rasakan”... Sebuah pernyataan yang terkesan biasa, sehingga karena telah menjadi kebiasaan dalam berkomunikasi, kita cenderung membenarkan yang biasa tersebut.

Mungkin terdengar sepele, tetapi selepas sesi meditasi dan refleksi tadi pagi saya menyadari hal yang berbeda dari pernyataan sang pamong tadi, yaitu tentang sebuah kata yang terasa biasa, namun ternyata sebaliknya, yaitu: SAMA

Pertanyaan yang muncul dari dalam diri adalah:
– ‘apa yang dimaksud dengan SAMA?’
– ‘apakah sang pamong pernah mengalami situasi yang SAMA (waktu, lokasi, orang-orang yang terlibat, konten, dan konteksnya)?’
– ‘apa yang mendasari sang pamong berkata SAMA?’
– ‘apakah sang pamong berupaya terkoneksi lalu berkata SAMA untuk bersimpati, berempati, atau memang benar-benar tahu apa yang terjadi dan dirasakan oleh saya?’
– ‘apa yang sang pamong pikir/rasa/lihat pada saat berkata merasakan hal yang SAMA?’

Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan self-coaching yang saya lakukan di sesi refleksi; yang beberapa di antaranya adalah pertanyaan tertutup, saya melihat bilamana saya adalah seorang pamong, apa yang saya maknai dari kata SAMA?

Dalam refleksi itu saya menyadari, walaupun saya bernapas berulang kali, tak pernah ada napas yang benar-benar sama; tempat menghirupnya, kualitas udaranya, komposisi kimiawi udaranya, cara menghirupnya, ruang relung paru-paru yang diisinya, kecepatannya, percepatannya, situasi sekitarnya, kondisi psikologis saya, dan yang hampir pasti berbeda adalah umur saya. Dan saya menyadari, tidak pernah ada kejadian yang sama, sama sekali.

Saya menyadari sering tak terlalu tahu, bahkan tak tahu, walau kadang (atau sering) sok tahu tentang perasaan cantrik (coachee) saya dengan mengatakan “saya merasakan hal yang sama seperti yang anda rasakan”… namun sejatinya saya tidak tahu.

Ada upaya berempati untuk terkoneksi, namun upaya itu jadi semu karena seolah diramu. Ada usaha untuk memahami, namun pemahaman itu berasa palsu, karena antara pikiran dan perasaan tak ada titik temu, dan saya sendiri tak pernah mengalami apa yang dipahami itu. Ada ketidaktahuan yang saya enggan untuk saya akui atau saya bungkus dalam kebanggaan sebagai pamong, lalu ambil jalan pintas dengan (kadang tanpa sadar) pura-pura tahu.

Teringat guru saya James Lawley dan Penny Tomkins dengan konsep Clean Space dan Clean Language in CoachingΒ yang memiliki filosofi kepamongan yang non-intrusive, “a coach existence is to be as minimum as possible, invisible if possible, non-existent but the client”

Lalu saya terhenyak, I did so much damage by saying “I feel you”, which I might did, but mostly didn’t. Betapa intrusif dan invasifnya saya memasukkan perspektif saya dalam percakapan tentang agendanya.

Kiranya Semesta mengampuni…

Reference: Philosophy of Space and Time

Mustika Puraga Jati Sunda

Nu jauh urang deukeutkeun,
Geus deukeut urang layeutkeun,
Geus layeut urang paheutkeun,
Geus paheut urang pageuhkeun.

(Yang jauh kita dekatkan,
Sudah dekat kita rekatkan,
Sudah rekat kita kuatkan,
Sudah kuat kita teguhkan)

Falsafah kearifan lokal yang diangkat dari karya Ki Laras Maya, yaitu Mustika Puraga Jati Sunda, bertutur tentang DNA bangsa-bangsa di Nusantara yang guyub, komunal, kolaboratif, yang menjadikan setiap anggota masyarakat sebagai satu kesatuan utuh;

Nu jauh urang deukeutkeun memiliki makna bahwa walaupun setiap individu memiliki sudut pandang dan pemahaman yang berbeda, tidak lantas perbedaan itu jadi menjauhkan, justru perlu didekatkan agar terjadi komunikasi sehat untuk saling bertukar pikiran

Nu deukeut urang layeutkeun memiliki tujuan bahwa kedekatan yang telah dibangun perlu direkatkan dengan kemampuan untuk berempati, merasakan apa yang dirasakan satu sama lain sehingga yang saling berdialog ada dalam kesatuan rasa.

Geus layeut urang paheutkeun bermakna bahwa kesatuan rasa antar individu perlu dibawa lebih dalam ke kesatuan rasa dalam kelompok/ekosistem, sehingga seluruh anggota berada dalam raos sami (rasa yang sama)

Geus paheut urang pageuhkeun adalah puncak dari tujuan berkomuni dan berkomunikasi, dalam keterkaitan rasa yang sama tadi saling menguatkan dan saling mendukung, walaupun visi setiap orang bisa jadi berbeda. Disini tidak ada ego “aku” tetapi setiap orang mendahulukan orang lain

Sampurasun πŸ™πŸ™πŸ™

Paradoks Kapamongan

Menjadi pamong adalah paradoks

Paradoks untuk tidak rendah diri
Tetapi tidak terlalu percaya diri
Paradoks untuk penuh berperan menjadi
Namun tetap jadi diri sendiri

Menjadi pamong adalah paradoks

Paradoks untuk menyadari semua persepsi
Tanpa terbawa oleh asumsi dan spekulasi
Paradoks untuk menerima label yang diberi coachee
Merasa tanpa merana atau terintimidasi

Menjadi pamong adalah paradoks

Paradoks bahwa semua emosi adalah energi
Energi positif atau negatif, keduanya memiliki arti
Sadari dan hadiri semuanya tanpa kecuali
Karena mungkin ada kesadaran baru yang tengah menanti

Menjadi pamong adalah paradoks

Tak semua pertanyaan mampu menginspirasi
Kadang malah sebaliknya bikin sesi tak berisi
Perlu wawasan dan latihan memprovokasi
Mencari pertanyaan yang mengeksplorasi

Menjadi pamong memang paradoks

Ia bukan sekedar melakukan sekali sekali dalam sesi
Apalagi dengan niat sempit sekedar akreditasi
Ia perlu jadi sikap menyatunya pikir-ucap-laku sehari-hari
Mungkin itulah beda antara pamong yang berperan dengan pamong yang beneran

Sampurasun πŸ™πŸ»
#RenunganLepasMentoring

Perihal Kalbu

Siapa yang mengajar batu berdiam meski sering diinjak dan dilempari?
Yang meminta padi menunduk saat bulirnya penuh berisi?
Dan mengajak air terus mengalir meski banyak interupsi?

Ada kearifan dalam hening diam di atas geram
Juga kerendahan hati untuk teduh di atas angkuh
Serta keluwesan dalam riak di atas gejolak

Aku tak tahu
Tetapi tetiba tahu
Tanpa perlu cari tahu
Atau diberi tahu
Aku tahu bahwa aku tahu

Itu semua ada di sini
Dan terhadir di saat ini
Dalam situasi yang seperti begini

Saat sadar penuh hadir utuh di sini, saat ini, dan begini; aku jadi semakin tahu
Tak ada peristiwa yang terjadi padaku
Segala peristiwa terjadi untukku

Dalam ketidaktahuan akal pikiranku
Sang Maha Tahu tengah menitipkan ilham-NYA dalam kalbu

Sampurasun πŸ™πŸΌ

#RenunganKepagian
#BelajarPulangSebelumDipanggilPulang